![]() |
Foto : Ilustrasi Robot AI dan Kecerdasan buatan, Dok. pixels |
TRANSPANTURA.COM - Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) tengah merevolusi dunia kerja dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teknologi ini kini digunakan di berbagai sektor, mulai dari manufaktur hingga layanan kesehatan, untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Namun, pertanyaannya tetap menggantung: apakah AI akan menciptakan lebih banyak peluang kerja atau justru menggantikan peran manusia?
Meningkatkan Produktivitas, Tapi Mengancam Pekerjaan?
Menurut laporan World Economic Forum tahun 2020, AI dan otomatisasi diperkirakan akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada 2025. Meski demikian, laporan yang sama menyebutkan bahwa teknologi ini juga berpotensi menciptakan 97 juta pekerjaan baru yang lebih relevan dengan era digital. Ini menunjukkan bahwa transisi teknologi tidak menghilangkan pekerjaan, melainkan mengubah jenis keterampilan yang dibutuhkan, seperti dilansir dari World Economic Forum Kamis (12/06/2025)
Di sektor industri, pekerjaan manual dan repetitif seperti perakitan kendaraan dan pengecekan kualitas kini telah banyak digantikan oleh robot berbasis AI. Hal ini meningkatkan efisiensi, tetapi sekaligus menimbulkan tantangan bagi pekerja yang belum memiliki keterampilan teknis yang sesuai.
Sebaliknya, AI juga membuka peluang di sektor lain. Dalam dunia medis, AI membantu dokter mendiagnosis penyakit secara lebih cepat dan akurat. Di bidang keuangan, AI mampu menganalisis data dalam jumlah besar dan memprediksi pergerakan pasar. Bahkan di sektor kreatif, AI dapat menciptakan desain, musik, dan tulisan yang mendukung pekerjaan manusia sehari-hari.
Tantangan Utama Era AI
Salah satu tantangan terbesar dalam adopsi AI adalah kesenjangan keterampilan. Menurut laporan McKinsey, sekitar 375 juta pekerja di seluruh dunia perlu meningkatkan atau mengubah keterampilan mereka agar tetap relevan di era digital. Sayangnya, banyak sistem pendidikan saat ini masih berfokus pada keterampilan tradisional yang kurang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja modern.
Sebagai respons, berbagai negara mulai berinvestasi dalam program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling). Perusahaan teknologi besar seperti Google dan Microsoft bahkan telah meluncurkan program edukasi untuk membantu tenaga kerja beradaptasi. Namun, penerapan program ini belum merata, terutama di negara-negara berkembang.
Kolaborasi Manusia dan Mesin: Masa Depan Dunia Kerja
Alih-alih menggantikan manusia sepenuhnya, AI seharusnya dipandang sebagai mitra kerja yang mampu meningkatkan kinerja manusia. AI idealnya mengambil alih tugas-tugas rutin dan administratif, sementara manusia tetap berperan dalam pekerjaan yang memerlukan kreativitas, empati, dan pengambilan keputusan yang kompleks.
Dalam sebuah jurnal ekonomi yang ditulis oleh David Autor, disebutkan bahwa pekerjaan yang sulit digantikan oleh AI adalah yang melibatkan interaksi sosial dan pemikiran kritis. Karena itu, manusia masih memiliki keunggulan dalam bidang kepemimpinan, inovasi, serta layanan pelanggan.
Untuk memastikan manfaat AI dirasakan secara luas, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan institusi pendidikan. Kebijakan yang mendukung pelatihan ulang tenaga kerja serta investasi dalam teknologi inklusif menjadi kunci sukses menghadapi era AI.
Pilihan Ada di Tangan Kita
AI bukan hanya ancaman, tetapi juga peluang besar bagi masa depan dunia kerja. Jika direspons dengan langkah yang tepat, AI dapat menjadi katalisator efisiensi, membuka lapangan kerja baru, dan mempercepat inovasi di berbagai sektor. Namun, tantangan seperti kesenjangan keterampilan dan perubahan struktur pekerjaan harus dihadapi dengan serius dan cepat.
Kini, keputusan ada di tangan kita: apakah akan membiarkan AI menggantikan peran manusia, atau justru beradaptasi dan memanfaatkannya untuk menciptakan masa depan kerja yang lebih inklusif dan berkelanjutan? (ad/rh)